BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Farmakoterapi merupakan
intervensi terapi yang akan paling banyak dilakukan dalam praktek klinik,
sehingga kemungkinan untuk menghadapi kasus efek samping obat bagi seorang
praktisi medik mungkin tidak dapat dihindari sepenuhnya. Seringkali, kejadian
efek samping obat ini pada seorang pasien tidak dengan mudah dikenali, kecuali
kalau efek samping yang terjadi adalah bentuk yang berat dan menyolok.
Mahasiswa perlu mengenali bentuk-bentuk efek samping obat, faktor-faktor
penyebab atau yang mendorong terjadinya, upaya pencegahan dan penanganannya.
Setiap obat mempunyai
kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek
farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat
kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek
farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmakologi tentang Efek Samping Obat.
2.
Tujuan Khusus
Agar
mahasiswa mengetahui dan memahami tentang:
a.
Memahami bentuk-bentuk efek
samping obat yang sering terjadi dalam klinik.
b.
Memahami faktor-faktor yang mendukung
terjadinya efek samping obat
c.
Memahami upaya pencegahan dan penanganan
efek samping obat dan efek toksik obat.
d.
Memahami tindak lanjut yang diperlukan
bila menjumpai efek samping.
C.
Sistematika
Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Tujuan
Penulisan
C. Sitematika
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Efek Samping Obat
B.
Masalah Efek Samping Obat
C.
Pembagian Efek Samping
D.
Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek
Samping Obat
E.
Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek
Samping Obat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Efek Samping Obat
Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO
1970) efek samping suatu obat
adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang
dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.
Pengertian
efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau
membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping
tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau
dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian
besar sudah diketahui.
B.
Masalah
Efek Samping Obat
Beberapa
contoh efek samping misalnya:
1. Reaksi
alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),
2. Hipoglikemia
berat karena pemberian insulin (efek
farmakologik yang berlebihan)
3. Osteoporosis
karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama)
4. Hipertensi
karena penghentian pemberian klonidin (gejala
penghentian obat - withdrawal syndrome)
5.
Fokomelia pada anak karena ibunya
menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya.
Masalah
efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh
karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
1. Kegagalan
pengobatan
2. Timbulnya
keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak
diderita oleh pasien
3. Pembiayaan
yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit
atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak
ekonomik).
4.
Efek psikologik terhadap penderita yang
akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya
kepatuhan berobat.
Efek samping adakalanya tidak dapat
dihindarkan, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, ergotamin, atau
estrogen dengan dosis yang melebihi dosis normal. Kadang efek samping merupakan
kelanjutan efek utama sampai tingkat yang tidak diinginkan, misalnya rasa
kantuk pada fenobarbital, bila digunakan sebagai obat epilepsi. Bila efek
samping terlalu hebat dapat dilawan dengan obat lain misalnya obat antimual (meklizine, proklorperazin) atau obat
anti mengantuk (kofein, amfetamin).
Tidak
semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau
yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara
klinis.
C.
Pembagian
Efek Samping
Efek
samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya
berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk
manifestasi efek samping yang terjadi, dan sebagainya. Namun mungkin pembagian
yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah
sebagai berikut:
Efek
samping yang dapat diperkirakan, terbagi atas:
1.
Aksi
farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek
farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan
karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan
ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya
perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu,
misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung,
perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan
dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu.
Selain itu efek ini juga
bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat
yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.
Efek samping jenis ini
umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat,
obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika.
Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
a. Depresi
respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan
morfin atau benzodiazepin.
b. Hipotensi
yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang
menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
c. Bradikardia
pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
d. Palpitasi
pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
e. Hipoglikemia
karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.
f. Perdarahan
yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin,
karena secara bersamaan juga minum aspirin.
Semua pasien mempunyai
risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan
upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap
kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut).
Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek
samping juga perlu diperhatikan.
2.
Respons
karena penghentian obat
Gejala penghentian obat
(=gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali
gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat,
karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:
a. Agitasi
ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi
pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti
barbiturat, benzodiazepin dan alkohol,
b. Krisis
Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,
c. Hipertensi
berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi
klonidin
d. Gejala
putus obat karena narkotika,
Reaksi putus obat ini
terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat
reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat,
sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons
penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu
diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat
dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan
penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat
sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala
putus obat yang lebih ringan.
3.
Efek
samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
Efek-efek samping yang
berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya
telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini
umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan
efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah
obat dipakai dalam populasi yang lebih luas .
Data efek samping
berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan
perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
a. Iritasi
lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat
kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin,
rifampisin, dan lain-lain.
b. Rasa
ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok
perjalanan (motion sickness).
c. Kenaikan
enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
d. Efek
teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan
pada wanita hamil
e. Penghambatan
agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
f. Ototoksisitas
karena kinin/kinidin, dsb.
Efek samping yang tidak
dapat diperkirakan, terbagi atas:
1.
Reaksi
alergi
Alergi obat atau reaksi
hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi
akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya,
seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian
kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi
dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat
berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali
berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
a. Gejalanya
sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya
b. Seringkali
terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya
efek
c. Reaksi
dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil
obat
d. Reaksi
hilang bila obat dihentikan
e. Keluhan/gejala
yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash
(=ruam) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria,
angio-edema, dan lain-lain
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya
alergi, yakni:
a. Tipe I.
Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel
mast dan leukosit basofil dengan obat
atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya
histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dan lain-lain. Manifestasi efek samping
bisa berupa urtikaria, rinitis, asma
bronkial, angio-edema dan
syok anafilaktik. Syok
anafilaktik ini merupakan
efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan
adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung
jodium .
b. Tipe II.
Reaksi sitotoksik: yaitu
interaksi antara antibodi
IgG, IgM atau
IgA dalam sirkulasi
dengan obat, membentuk kompleks
yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin,
digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin,
sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dan lain-lain.
c. Tipe III.
Reaksi imun-kompleks: yaitu
interaksi antara antibodi
IgG dengan antigen
dalam sirkulasi, kemudian kompleks
yang terbentuk melekat
pada jaringan dan
menyebabkan kerusakan endotelium
kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi,
urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi
ini dikenal dengan
istilah "serum sickness",
karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya
anti-tetanus serum).
d. Tipe IV.
Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks
antigen-hapten-protein, yang kemudian baru
menimbulkan reaksi setelah
kontak dengan suatu
antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya
adalah dermatitis kontak
yang disebabkan salep
anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi
topikal.
Walaupun mekanisme efek
samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam
praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh
dokter umumnya akan meliputi:
a.
Demam
Umumnya demam dalam
derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah
penghentian obat beberapa hari.
b.
Ruam
kulit (skin rashes)
Ruam dapat berupa
eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis
eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dan lain-lain.
c.
Penyakit
jaringan ikat
Merupakan gejala lupus
eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada
pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat.
d.
Gangguan
sistem darah
Trombositopenia, neutropenia
(atau agranulositosis), anemia hemolitika,
dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai,
meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
e.
Gangguan
pernafasan
Asma akan merupakan
kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah
diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif
terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.
2.
Reaksi
karena faktor genetik
Pada orang-orang
tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat
memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat
diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang
mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin).
Sebagai contoh misalnya:
a. Pasien
yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat
memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat
ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan.
b. Pasien
yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat
dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut
pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin.
Kemampuan metabolisme
obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer adalah
perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena
adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut.
Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok,
yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator
cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator
lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35%
adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi
distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada
asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:
a. Neuropati
perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat
b. Sindroma
lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator
lambat.
Pemeriksaan untuk
menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau
lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan
kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat
dilakukan di Laboratorium Farmakologi
Klinik.
3.
Reaksi
idiosinkratik
Istilah idiosinkratik
digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak
diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa
bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi.
Beberapa contoh misalnya:
a. Kanker
pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.
b. Kanker
uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian
progestogen sama sekali.
c. Obat-obat
imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.
d. Preparat-preparat
besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.
e. Kanker
tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani
perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.
D.
Faktor-faktor
Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat
Setelah
melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa
saja yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut
ternyata meliputi:
1.
Faktor
bukan obat
Faktor-faktor
pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
a. Intrinsik
dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi,
penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b. Ekstrinsik
di luar pasien, yakni dokter (pemberi
obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2.
Faktor
obat
a. Intrinsik
dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b. Pemilihan
obat
c. Cara
penggunaan obat
d. Interaksi
antar obat
E.
Upaya
Pencegahan dan Penanganan Efek Samping Obat
Masing-masing
obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat
maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah,
jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang
namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti
evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat, dari berbagai pustaka
standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan terhadap
efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat
akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.
1.
Upaya
pencegahan
Agar
kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk
melakukan hal-hal berikut:
a. Selalu
harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada
waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter
maupun dari pengobatan sendiri
b. Gunakan
obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi
c. Hindari
pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus
d. Berikan
perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi,
usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan
jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit
dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan
pendengaran
e. Perlu
ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat
bila dirasa tidak perlu lagi
f. Bila
dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya
memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena
perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena
efek samping obat
2.
Penanganan
efek samping
Dengan
melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya,
pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:
a. Segera hentikan semua obat bila
diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk
dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek
farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi
pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan
dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau
idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh
dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal
pada kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan
berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka
pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.
b.
Upaya
penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.
Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan
yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin
dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada
keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian
antihistamin atau kortikosteroid (bila
diperlukan), dan lain-lain.
Berikut ini adalah contoh dari efek samping obat
yang biasanya terjadi:
a.
Kerusakan janin, akibat Thalidomide dan Accutane
b.
Pendarahan usus, akibat Aspirin
c.
Penyakit kardiovaskular, akibat obat penghambat
COX-2
d.
Tuli dan
gagal ginjal, akibat antibiotik Gentamisin
e.
Kematian,
akibat Propofol
f.
Depresi
dan luka pada hati, akibat Interferon
g.
Diabetes,
yang disebabkan oleh obat-obatan psikiatrik neuroleptik
h.
Diare,
akibat penggunaan Orlistat
i.
Disfungsi
ereksi, akibat antidepresan
j.
Demam,
akibat vaksinasi
k.
Glaukoma,
akibat tetes mata kortikosteroid
l.
Rambut
rontok dan anemia, karena kemoterapi melawan kanker atau leukemia
m. Hipertensi, akibat penggunaan Efedrin. Hal ini membuat
FDA mencabut status ekstrak tanaman efedra (sumber efedrin) sebagai suplemen
makanan
n.
Kerusakan
hati akibat Parasetamol
o.
Mengantuk
dan meningkatnya nafsu makan akibat penggunaan antihistamin
p.
Stroke
atau serangan jantung akibat penggunaan Sildenafil (Viagra)
q.
Bunuh diri
akibat penggunaan Fluoxetine, suatu antidepresan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Efek samping adalah
setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien
(adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin
dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah
diketahui
Setiap obat mempunyai
kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek
farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat
kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek
farmakologik terjadi secara ekstrim, ini pun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.
.
B.
Saran
Dalam
pemakaian obat, hendaknya kita perhatikan kontra indikasi dari obat tersebut,
untuk mencegah efek samping dari obat yang berlebihan.